Sepuluh tahun lalu, ada sesuatu yang aneh terjadi di Banda Aceh. Daerah Istimewa Aceh yang lekat dengan nilai-nilai Islam ini entah bagaimana mulai ikut-ikutan merayakan Natal, 25 Desember. Bukan itu saja, selain merayakan Natal, sejumlah oknum kepolisian setempat juga melangsungkan acara yang sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Apalagi hal itu dilakukan di dekat Makam Syah Kuala, salah seorang ulama yang sangat dihormati.
Syiah Kuala adalah mufti besar Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Sebelum jadi mufti, Syiah Kuala belajar agama secara mendalam di Madinah al-Almunawarah. Gurunya dalam ilmu tasawuf adalah Shafiyuddin Ahmad al-Dajaany al-Qusyasyi. Selain ahli tasawuf, Syiah Kuala juga dikenal sebagai ahli fikih. Dalam ilmu fikih ia mengarang kitab Majmu’ul Masaa-il (Kumpulan Masalah-masalah), yang berisi berbagai persoalan yang muncul di masyarakat Aceh pada masa itu. Ia juga mengarang buku Miratuth Thulaab (Cermin Muka bagi Para Penuntut Ilmu), serta kitab Al Mawaa’zh Al Badii’ah yang berisi tuntutan budi pekerja dan sopan santun keagamaan.
Bagi warga Aceh, nama Syiah Kuala memang memiliki tempat yang sangat istimewa. Syiah Kuala yang bernama asli Syeikh Aminuddin Abdurrauf bin Ali Al Fansyury As Sinkily, adalah ulama yang paling terkenal dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Aceh. Syiah Kuala merupakan ulama Aceh yang dalam bahasa Arab diistilahkan dengan kalimat “Rajulu yusaawi uluufa rijaali” (Seorang lelaki yang sama nilainya dengan beribu-ribu lelaki). Kebesaran Syiah Kuala tercermin dalam pepatah orang Aceh “Adat bak Peutu Mereuhum, syarak bak Syiah di Kuala”. Jika adat mengikut kekuasaan Sultan Iskandar Muda, maka syarak (kehidupan beragama) berada di bawah keputusan Tuan Syiah Kuala.
Ketika meninggal, Syiah Kuala di makamkan di sebuah desa yang terletak di pesisir pantai utara Aceh, hanya berjarak sekitar 200 meter dari garis pantai. Dalam perkembangannya, makam tersebut telah menjadi satu komplek makam keluarga kerajaan Aceh.
Kompleks makam terdiri dari dua bagian. Bagian pertama dan utama terletak di sebelah timur, merupakan tempat makam Syiah Kuala. Di kompleks berbentuk segi empat dan berukuran sekitar 5 x 7 meter persegi itu ada pilar-pilar beton yang menyangga atap. Makam Syiah Kuala sendiri berada di tengahnya, dikelilingi pagar besi berwarna biru. Sementara di pinggir makam terdapat lantai keramik warna merah marun. Sedang kompleks kedua berisi makam istri dan anggota keluarga Syiah Kuala. Di kejauhan, lebih dekat ke arah pantai, tampak berdiri Masjid al-Waqib yang diyakini warga sekitar didirikan oleh Syiah Kuala. Masjid tersebut terletak di kampung Deyah Raya, Kecamatan Syiah Kuala.
Sebelum terjadinya bencana, makam Syiah Kuala kerap dikunjungi para peziarah yang datang dari segala penjuru Aceh, bahkan peziarah dari Malaysia, Brunei, Burma, Pakistan, Thailand, dan sekitarnya. Bagi sebagian peziarah, misal yang datang dari Gayo, mereka meyakini berziarah ke makam Syiah Kuala dan shalat Idul Adha di kompleks makam itu sama nilainya dengan menunaikan Rukun Islam yang kelima yaitu ibadah haji. entah apa dalilnya.
Pada tanggal 25 Desember 2004, sebuah tenda besar dipasang di dekat pos polisi yang berdekatan lokasinya dengan komplek pemakaman. Kursi-kursi pun dideretkan. Pesta Natal dan menyambut tahun baru diselenggarakan. Organ tunggal beserta penyanyinya dipanggil. Hingga jauh malam, pesta berlangsung meriah.
“Jika pada hari biasa yang berjaga di situ paling ada tujuh orang polisi, namun pada hari Sabtu (25/12/04), petugas yang ada di situ amat banyak,” ujar Abdul Syukur (bukan nama sebenarnya), warga sekitar makam yang selamat.
Menurut Abdul Syukur yang diamini warga sekitar, para petugas kepolisian itu mabuk-mabukkan dan berjoget. Suara hingar-bingar ditingkahi suara tertawa genit perempuan nakal terdengar hingga ke rumah-rumah penduduk. Semua dilakukan tanpa mengindahkan kesakralan makam ulama besar Syiah Kuala.
Seorang guru ngaji (al-Walid) yang biasa bermalam di komplek makam merasa terketuk nuraninya untuk mengingatkan aparat kepolisian itu agar tidak melakukan hal-hal seperti itu di dekat makam seorang ulama.
Setelah menguatkan hati dan mengucap Basmallah, orangtua berjubah putih itu menghampiri orang-orang yang tengah berpesta. Tutur katanya yang begitu sopan dan lembut tidak dihiraukan. Orangtua itu malah dihardik dengan kasar dan ditodong senjata api laras panjang.
Dengan hati hancur al-Walid berbalik menuju makam Syiah Kuala. Di depan makam, al-Walid berdoa sembari mengucurkan airmata. Hatinya hancur. Ia tidak punya daya upaya dan kekuatan untuk menghentikan pesta maksiat itu. Dengan penuh perasaan, orangtua itu bahkan sempat mengumandangkan adzan tiga kali di depan makam. Suaranya kalah keras dengan dentuman musik dangdut yang mengiringi pesta maksiat itu.
Setelah adzan, orangtua itu pergi meninggalkan makam. Al-Walid terus berjalan menjauhi makam dan hilang ditelan kegelapan malam.
Pesta terus berlangsung tak kenal tempat dan waktu. Menurut beberapa warga sekitar makam, dalam pesta itu beberapa orang terlihat melepaskan pakaiannya.
Adzan Subuh yang bergema dari Masjid al-Waqib tak mampu menghentikan pesta yang masih meriah. Saat matahari terbit di ufuk timur menerangi bumi Serambi Mekkah, pesta masih terus berlangsung.
Tak lama kemudian tiba-tiba tanah berguncang hebat dalam hitungan beberapa menit. Gempa besar telah terjadi. Orang-orang yang berpesta keluar dari tenda. Ada yang menjerit, ada yang tertawa-tawa, ada pula yang masih asyik berjoget sendiri. Para penduduk sekitar juga berhamburan keluar rumah memenuhi jalan.
Setelah gempa berhenti, tak berapa lama kemudian laut menyurut sampai jauh. Pantai bertambah luas, ikan-ikan sebesar paha orang dewasa mengelepar di atas pasir. Orang-orang yang masih berpesta itu memandang pantai dengan raut muka kebingungan.
Keadaan itu juga tidak berlangsung lama. Tiba-tiba dari arah garis pantai yang jauh masuk ke dalam laut, muncul tembok hitam setinggi tiga kali pohon kelapa. Tembok hitam berhawa panas itu berjalan sangat cepat ke arah daratan. Menyapu dan menggulung semua yang ada dihadapannya. Pesta maksiat itu pun seketika berhenti. Lumat dalam jilatan tsunami.
Jika Fir’aun sempat memohon ampun setelah digulung ombak, maka orang-orang ini tidak punya kesempatan. Mereka mati dalam kesia-siaan. Orang-orang kampung yang tak bersalah ikut terkena bencana.
Setelah air reda, yang tampak sejauh pandangan mata hanya genangan air dan puing-puing rumah, batu, serta pepohonan yang menjadi satu dengan mayat-mayat yang bergelimpangan. Komplek pemakaman Syiah Kuala rusak. Kompleks utama makam itu benar-benar hancur. Dua batu nisannya hilang. Pusaranya terangkat. Pagar besinya roboh, sebagian malah terjerembap ke dalam tanah.
Di bagian tengah bekas pusara muncul sebuah lubang, seperti liang lahat. Tiang-tiang beton yang jadi penyangga tudung bertumbangan dan terseret gelombang hingga beberapa meter ke arah barat menjauh pantai.
Menurut cerita warga sekitar yang selamat, saat terjadi tsunami, dari tengah kuburan Syiah Kuala memancar air hitam yang sangat deras ke arah orang-orang yang tengah berpesta. “Jadi orang-orang itu tidak saja dilumat oleh laut, tapi juga dari air hitam yang keluar dari makam ini,” ujar seorang warga. Wallahu’alam.
Seluruh kompleks pemakaman rusak. Di kejauhan hanya tampak Masjid al-Waqib yang masih kokoh berdiri. Ia menjadi saksi bisu dahsyatnya kekuatan alam yang memporakporandakan seluruh Deyah Raya. Masjdi itu kini dikelilingi air laut. “Jika sedang pasang, jalan satu-satunya menuju masjid dipenuhi air laut sampai sepinggang orang dewasa,” ujar Khairuddin, 36, warga setempat.
Rusaknya makam Syiah Kuala dan utuhnya Masjid al-Waqib yang dibangunnya, padahal jaraknya lebih dekat ke pantai, bagi orang Aceh mempunyai makna tersendiri.
Seorang Pengasuh Dayah (Pesantren) di Ulee Titi, Teungku Atta’ilah, menyatakan bahwa hal ini merupakan peringatan dari Allah buat kita semua. “Bila sekarang kompleks makam itu roboh, maka harusnya dapat menjadi bahan renungan. Selama ini memang ada sedikit `anomali’ ketika orang berziarah ke makam tersebut,” ujarnya.
“Lihatlah apa maksud orang berziarah ke sana? Mereka meminta kepada siapa? Itu kan pencemaran terhadap nama besar Syiah Kuala. Syiah Kuala tidak pernah mengajarkan orang meminta kepada kuburan. Manusia itu hanya boleh meminta pada Allah. Apalagi kalau kita lihat tingkah laku pengunjung perempuannya. Mereka tidak perduli dengan adab berpakaian, auratnya tidak ditutup rapat,” tegas Atta’illah.
Seorang tokoh masyarakat Dusun Lambaro, Syaifuddin, mengatakan ikut rusaknya kompleks makam Syiah Kuala hendaknya dapat menjadi pelajaran bahwa betapa jauhnya kepedulian warga Aceh terhadap ajaran agamanya. Di kompleks itu, misalnya, memang sudah berubah jadi tempat wisata.
“Allah telah memperlihatkan kepada kita semua. Makam Syiah Kuala yang selama ini sering disalahgunakan, sebagai tempat memohon sesuatu, telah hancur. Sedangkan Masjid al-Waqib yang juga didirikan oleh Syiah Kuala dan masih sesuai dengan fungsinya sebagai tempat ibadah, masih utuh berdiri. Ini tanda dari Allah yang demikian jelas,” tegas Muhammad Ichsan, 46, warga Krueng Raya yang dua pekan setelah musibah baru sempat berkunjung ke Syiah Kuala. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
Sumber
0 comments:
Post a Comment